Komunikasi merupakan bagian dari kebijakan. Tanpa adanya komunikasi, maka kebijakan akan sulit untuk diterima. Sehingga efektivitas kebijakan sangat tergantung dari komunikasi yang dijalankan instansi pemerintah. Sehingga jelas bahwa komunikasi memiliki peran yang sangat penting. Komunikasi bukan lagi konco wingking. Humas pemerintah bukanlah unsur pelengkap.
Bagaimana caranya merancang strategi komunikasi kebijakan? Di setiap kebijakan yang akan disusun pasti ada banyak isu yang mengemuka. Isu bisa dibicarakan siapa saja. Kelompok kepentingan manapun dapat membicarakan isu. Namun, jika kelompok tersebut memang punya legitimasi apalagi kekuasaan, maka harus diperhatikan. Jika tidak, maka sisanya hanya noise.
Perhatikan aspirasi para pemangku kepentingan. Apakah sejalan dengan perubahan rencana kebijakan atau tidak. Humas menjadi advisor bagi penyusun kebijakan. Humas harus menyusun daftar stakeholders yang terdampak, lalu buat klasifikasinya, dampaknya serta aspirasinya kalau ada. Pada dasarnya kan setiap kebijakan entah itu berbentuk undang-undang atau peraturan tujuannya untuk meningkatkan kebaikan untuk bersama. Memang sulit menyusun kebijakan yang menyenangkan semua orang, namun menemukan titik temu optimal itu bukan berarti tidak mungkin dilakukan.
Melakukan komunikasi dengan para pemangku kepentigan haruslah dengan pesan kunci yang tepat. Bahasa yang tepat juga krusial. Bahasa yang merupakan bagian dari budaya. Salah menyusun pesan bisa membuat salah pemaknaan. Tidak semua kelompok masyarakat bisa memahami bahasa hukum. Jangankan masyarakat menengah bawah. Kaum intelektual saja tidak semuanya paham bahasa hukum apalagi bidang teknis tertentu.
Ketentuan-ketentuan ini harus dinarasikan pelan-pelan, semudah mungkin. Peran media sangat penting untuk mencerdaskan masyarakat. Caranya lewat penyajian informasi yang mudah. Sekarang era digital, eranya kecepatan dalam berkomunikasi dan matinya kedalaman. Banyak media online terlanjur main cepat dalam membuat berita tanpa memahami benar-benar isinya. Akhirnya muncul misinformasi kemana-mana. Ujung-ujungnya menjadi kemarahan publik. Ada beberapa peraturan yang harus ditarik kembali hanya karena publik salah mengerti.
Ini menjadi ironis bagi instansi pemerintah. Kredibilitas dalam menyusun peraturan dipertaruhkan hanya karena kurangnya komunikasi. Unit komunikasi atau humas pun sebenarnya tidak bisa disalahkan kalau mereka tidak mendapatkan informasi dari unit penyusun peraturan. Bahkan bisa jadi mereka baru tahu informasi itu dari media, bukan dari orang dalam. Ironis bukan?
Oleh karena itu, sebagai bentuk mitigasi timbulnya misinformasi, perlu adanya komunikasi sebelum dan setelah publikasi peraturan dilakukan. Humas itu harus tahu lebih dulu. Niat dan tugas humas ini membantu, bukan berarti yang diterima humas lalu diteruskan saja ke media. Humas itu saringan sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Salam,